This is default featured slide 2 title

  1. 1.pertama kali, membentuk persiapan kerja mengikuti dengan meletakkan BRC dan kemudian menuangkan beton siap ke area yang disiapkan
2.kemudian menuangkan beton, meratakan harus dilakukan pada waktu yang sama. Berikutnya, taburi pengeras warna pada permukaan beton basah
3. gosok permukaan lantai dengan menggunakan alat yang disebut 'Banteng melayang'. Lapisan lain pengeras warna mungkin dibutuhkan, jika lantai tidak merata
4.Setelah lantai ditutupi oleh pengeras warna, gosok permukaan lagi sebagai final touch-up. Lalu meninggalkan lantai kering sekitar 70%.
5. Akhirnya, taburi lapisan lain agen rilis; memastikan rilis adalah menutupi seluruh lantai tanpa lantai di gosok lagi.
6.Kerja Stamping bisa dimulai langsung. Pastikan motif pola yang baik dan benar tempat di lantai beton dan tekan untuk menghasilkan permukaan bagus
7.pakai sapu lantai yang diperlukan dan deterjen untuk mencuci agen releasa tambahan yang tidak diserap oleh lantai beton. Selanjutnya, meratakan daerah yang tidak rata dalam dua efek tone dan memotong garis alur yang terlalu dangkal.
8. Akhirnya sealer untuk diterapkan hanya bila lantai yang benar-benar kering dan bersih tanpa debu.

This is default featured slide 4 title

Kesejarahan Kabupaten Lamongan dibanding dengan beberapa wilayah Kabupaten Lainnya di Jawa Timur, nama Lamongan seolah tenggelam dalam khasanah kesejarahan yang beredar di masyarakat Indonesia pada umum. Beberapa daerah kabupaten lain di sekitar Lamongan mungkin sangat dikenal oleh banyak orang dari aspek kesejarahan wilayahnya, kita ambil contoh Mojokerto dengan kerajaan Majapahit-nya, Kabupaten Tuban dengan sejarah adipati Ranggalawe-nya yang juga terkenal pada era pemerintahan kerajaan Majapahit. Sejarah tidak banyak mencatat tentang keberadaan Kabupaten/wilayah Lamongan segamblang Kadipaten atau Kerajaan Tuban terlebih bila dibandingkan dengan Majapahit.

Berikut ini merupakan sekilas penggalan sejarah Kabupaten Lamongan yang telah berhasil dihimpun oleh Pemerintah Daerah Lamongan dan juga beberapa sumber lain yang saling menguatkan terhadap kesejarahan tersebut.

I. Kurun Pra-Sejarah

Wilayah kabupaten Lamongan sebenarnya sudah dihuni oleh manusia semenjak jaman sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup. Beberapa penemuan lain berupa Nekara dari perunggu yang ditemukan di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Benda-benda tersebut menurut periodesasi prasejarah termasuk dalam masa perundagian di Indonesia yang berkembang semenjak lebih kurang 300 SM.

Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni manusia pada prasejarah ialah ditemukannya kerangka manusia, dan manik-manik kaca, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain juga di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Sistem penguburan dengan menggunakan nekara sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda milik si mati, berlaku pada masa perundagian. Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.

II. Masa Perkembangan Hindu

Pengaruh agama dan kebudayaan hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas, hal ini terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga -yoni. Arca yang ditemukan di wilayah Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah kecamatan Lamongan, Paciran, Modo, Sambeng, dan Kembangbahu. Sedangkan lingga dan yoni ditemukan di 3 wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio.

Hingga sekarang belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan hindu tersebut mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, namun munculnya nama wilayah ini dalam panggung sejarah majapahit hingga arti penting wilayah ini bagi kerajaan majapahit adalah pada akhir abad XIV. Peranan wilayah Lamongan dalam Pemerintahan Majapahit ini dapat diketahui dengan ditemukannya 43 buah prasasti peninggalan Majapahit di wilayah Lamongan.
Menilik dari sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan disamping merata, juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah kecamatan meliputi Kecamatan Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah, Ngimbang 8 buah, Sambeng 9 buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah, Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1 Buah, Brondong 1 buah, Paciran 2 buah.

Dari 43 buah prasasti tersebut, 39 buah diguris di atas batu dan 4 lainya diguris diatas lempengan tembaga, yang dikenal dengan Pasasti Biluluk I,II,III, dan IV yang saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode E.97 a-d. Prasasti ini berasal dari zaman Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Wikramawhardana (1389-1429). Prasasti tersebut ditulis dalam huruf jawa kuno dan telah di transkrip oleh Dr. Callenfels dalam OV.1917,1918, dan 1919. H.M Yamin memuat kembali transkrip itu dengan sari terjemahannya kedalam bahasa Indonesia dalam bukunya Tata Negara Majapahit Parwa II . Museum Nasional menyalin kembali dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional I, dan Pigeaud membahasnya secara mendalam pada bab tersendiri dalam bukunya Java in the 14th Century.

Dari banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi pemerintahan kerajaan majapahit, secara kebudayaan dan agama. Petunjuk lain kyang dapat diperoleh ialah bahwa perhubungan antara pusat wilayah kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup ramai.

Prasasti biluluk I-IV yang berangka tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366-1395 M merupakan suarat atau titah raja yang diturunkan dan tujukan kepada kepada keluarga kerajaan yang memerintah di biluluk dan Tanggulunan.

Isi prasasti itu antara lain;
Orang biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam pada saat upacara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dulu asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan akan dikenakan cukai.
Rakyat biluluk dan tanggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan yakni akan menderita kecelakaan, seperti antara lain; apabila mereka berada dipadang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka dan mati.
Memberi kebebasan kepada rakyat biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti ; berdagang , membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar (menurut pigeaud, membuat tepung, gula aren, atau tebu), dan membakar kapur tanpa dipungut pajak.
Status daerah perdikan biluluk dan tanggulunan ditingkatkan dari daerah shima menjjadi daerah swatantra, sebagai daerah swatantra atau otonom dan rakyat yang dicintai oleh raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan seerta bekal kepada para petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali besi, pinggan rotan dan kapas.
Petunjuk bahwa daerah bluluk dan tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak dikuasai oleh sang katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan dan ketentraman.
Kegiatan perekonomian diwilayah kerajaan majapahit umumnya di biluluk dan tanggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk sendiri. Komoditi perdagangan dari biluluk yang menonjol adalah; garam gula kelapa atau aren, dan daging dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan komoditas dagangan yang mahal. Bagi rakyat biluluk sendiri, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di biluluk ialah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari tepung umbi atau kentang.
Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau pasar tahunan yang berfungsi sebagai promosi berbagai macam barang dagangan.

Menelaah prasasti Biluluk dan memperhatikan persebaran banda peninggalan purbakala di wilayah lamongan sekarang, kata biluluk secara pasti dapat diidentifikasi dengan Bluluk sekarang. Kata tangulunan agaknya tidak lain adalah Tenggulun yang sekarang menjadi sebuah desa diwilayah Kecamatan Paciran berbatasan dengan Kecamatan Laren. Desa ini dalam buku Sejarah Brigade Ronggolawe disebut sebagai desa trenggulunan. Sedangkan kata pepadang agaknya tidak berada dalam wilayah Lamongan, mungkin sekarang Desa Padang di wilayah kecamatan Trucuk, Bojonegoro, yakni sebuah desa di tepian bengawan solo sebelah barat kota Bojonegoro atau mungkin Kecmatan Padangan dekat kota Cepu sekarang.

Dengan demikian wilayah Lamongan pada waktu itu terbagi kedalam dua daerah swatantra atau daerah otonom, yaitu Bluluk dibagian selatan dan barat dan Tanggulunan dibagian utara dan timur wilayah Lamongan sekarang. Tentang adanya wilayah kekuasaan lebih dari satu di Lamongan, juga diperoleh informasi dari de Graaf dan Pigeaud, bahwa pada tahun 1541 dan 1542 Demak mengalahkan para penguasa di Lamongan (zouden de heersers Lamongan).

Tentang hubungan prasasti tersebut dengan Majapahit disebutkan dalam prasasti Biluluk I, yaitu “makanguni kang adapur ing majapahit, siwihos kuneng yan hanang rubuhakna wangsyaningon kang biluluk, kang tanggulunan amangguha papa,…..”, artinya “pertama sekali kepada dapur majapahit, tetapi sekiranya ada yang merugikan rakyatku di Biluluk dan Tanggulunan, maka mereka itu akan menderita kecelakaan……” Kata adapur menurut pigeaud adalah kelompok pembuat garam. Kelompok pembuat garam ini di Majapahit mendapat pujian dan penghargaan. Dengan demikian wilayah Bluluk dan Tanggulunan langsung atau tidak langsung berada dalam kekuasaan Majapahit.

Dari isi prasasti juga dapat dimengerti kedudukan Lamongan terhadap Mjapahit, yakni Lamongan termasuk kategori daerah yang strategis dalam politik Majapahit, karena daerah ini merupakan jalur penting menuju dunia luar dengan Tuban (Sedayu) sebagai Pelabuhan utama. Karena pentingnya itu, maka daerah-daerah tersebut diberi hak otonomi yang luas dengan hak-hak istimewa yang menyangkut kewenangan mengatur perangkat pemerintahan, masyarakat, perpajakan, dan perekonomian atau perdagangan. Disamping itu kedua daerah otonom itu memperoleh perlindungan yang memadai dari pemerintahan kerajaan Majapahit. Untuk memantapkan kekuasaan penguasa dan rakyatnya, maka kedua daerah tersebut dipercayakan dan dikuasakan kepada paman raja hayam wuruk sendiri yang bernama Sri Paduka Bathara Parameswara.

Dalam hubunganya dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan, Lamongan (Biluluk dan Tanggulunan) agaknya menempati posisi cukup penting, karena jalur utama antara pusat kerajaan Majapahit dengan palabuhan dagang Tuban harus lewat daerah ini. Jalur perdagangan itu diperkirakan melalui Mojokerto ke utara lewat Kemlagi, terus ke pamotan – Wateswinangun-Lamongrejo- Ngimbang- Bluluk- Modo-Babat-Pucuk-Pringgoboyo-Laren-terus ke Tuban. Dari Tanggulunan ke pusat kerajaan agaknya juga lewat pringoboyo dengan terlebih dahulu menyusuri Bengawan solo.

Desa Pringgoboyo, berdasarkan temuan batu bata kuno, diperkirakan sudah menjadi tempat yang ramai dan menjadi pos penjagaan kerajaan baik untuk kepentingan keamanan pusat kerajaan, maupun untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan, yakni tempat memeungut cukai barang dagangan yang melewati jalur tersebut (bengawan solo).

Daerah Biluluk dan Tanggulunan diatas merupakan daearah penghasil daging yang dikeringkan (dendeng) dan juga Kerajinan tangan, disamping komoditi ekspor garam, gula aren dan merica.

Dalam hubunganya dengan kepercayaan keagamaan, berdasarkan temuan arca-arca syiwa yang tersebar di wilayah Lamongan, kiranya kebanyakan masyarakat Lamongan waktu itu beragama hindu aliran syiwa. Betapa agama ini telah demikian dalam dan luas pengaruhnya kedalam kehidupan dan budaya masyarakat Lamongan, dapat dilihat misalnya bentuk bangunan gapura yang berbentuk candi bentar dikompleks masjid sendang dhuwur. Kompleks masjid dan makam dengan gapura tersebut didirikan disuatu bukit yang disebut gunung Amintuno (Gunung pembakaran).

Tentang pengaruh agama budha di Lamongan agaknya juga ada. Sekalipun tidak ada bukti peninggalan sejarah seperti arca budha dan lainya, tetapi dari penuturan orang-orang tua didesa-desa bahwa agama orang zaman dulu itu agama budha dan zamanya bukan zaman hindu, melainkan zaman kabudhan. Kecuali yang sudah pernah bersekolah dan belajar sejarah, umumnya mereka tidak pernah menyebut-nyebut agama Hindu atau Zaman Hindu.http://yaxzein.wordpress.com/2010/08/28/latar-belakang-sejarah-kabupaten-lamongan-via-chandikolo-net/

Selasa, 19 Juni 2012


What is Pattern Imprinted Concrete?

Photo - Pattern imprinted concrete in European fan style installed to Blackpool property
Pattern imprinted concrete in European fan style installed to Blackpool property
Commonly also referred to as stamped concrete, Pattern Imprinted Concrete (PIC) is concrete that has been coloured and textured to resemble other more expensive materials such as brick, cobblestone, slate, granite, flagstone, tile or even wood.
Northern Cobblestone believe that its cost effectiveness, durability, virtually maintenance free finish and endless design possibilities make it the best paving solution currently available.

How is it created?

PIC is created by adding colours and stamping moulds into freshly laid concrete.

Preparation

Initially, the process is the same as with any paving project. The area must be properly prepared before any concrete can be poured. The existing surface needs to be excavated to a satisfactory depth dependent on the purpose of the paving and any debris removed from site.
A quantity of hardcore is then added dependent upon the sub base we find after excavation. This will be compacted to form a level, solid base on which to pour the concrete.
During this preparation stage, any remedial or alteration work will done to the drainage if required, along with the installtion of gate posts, steps, manholes, gulley tops, etc..
Temporary wooden shuttering is then fitted around the perimeter to form a framework into which the concrete is poured.

The Concrete

The air entrained and fibre enmeshed concrete used is specifically produced for pattern imprinting. Whilst the concrete is curing or setting, the fibres within it mesh together to give the slab far greater strength. On completion, PIC is 25% harder than standard concrete.
Once poured to a satisfactory depth, the concrete is raked to ensure that rain water will flow in the desired direction and then floated to give a smooth, flat finish. It is now ready for colouring and stamping.

Colouring

Each application uses two colouring agents which come in the form of a powder. Together these colours help to create a realistic two tone look on completion.
Your chosen colour, known as colour surface hardener, is spread across the concrete surface by hand. Once applied, the concrete is re-floated which forces the colour into the surface of the concrete. The release agent, which is usually a darker colour, is then spread across the coloured concrete ready for imprinting.

Stamping / Imprinting

Interlocking moulded rubber mats featuring your chosen pattern(s) are then used to stamp the concrete and ensure a uniform finish. Starting at an edge or corner, we work our way across, standing on the mats as we go to imprint the concrete and thus avoid stepping directly on it.
Once imprinting is complete, it will be cordoned off overnight to avoid unwanted footprints, whilst leaving you with access to your property.

Pre-Seal Preparation

Weather permitting, we will return the next day, or sometimes the day after that depending on the drying conditions so that the surface of the concrete can be pressure washed using detergents and release agent remover.
Once cleaned, "crack control joints" or "expansion cuts" are made into the surface of the concrete using a diamond disc saw to reduce the possibility of it cracking. The majority of available patterns mean that these cuts are not normally noticeable.

Sealing

Any unwanted marks or blemishes are dealt with prior to sealing and finally an acrylic sealant with anti-slip agent is applied, which protects the surface of the concrete and brings it to life, enhancing the colours beneath.
A choice of finishes are available from matt, through to satin and full gloss.










A Wealth of Options
There are an extensive number of colours, patterns and styles to choose from, so it is easy to create something truly unique to complement your property.
With a bit of imagination and by combining several patterns and colours, impressive individual designs can be created, which will be the envy of your neighbours!

The Benefits

Pattern imprinted concrete offers a number of benefits over other types of paving, including:
  • No sinking or spreading
  • Low maintenance
  • No weeds
  • Oil and stain resistant
  • 25% harder than standard concrete
  • Fade free colours

Kamis, 12 April 2012

Selasa, 20 Maret 2012

Kamis, 01 Maret 2012

Myspace


http://www.myspace.com/

Jumat, 10 Februari 2012

yahoo player